Bangsa
Indonesia adalah bangsa yang kompleks. Sebuah bangsa heterogen yang
terdiri atas berbagai macam suku dan bangsa yang tertampung dalam satu wadah,
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mereka berbaur menjadi satu dengan membawa
budaya dan ideologinya nya masing-masing. Akibatnya timbullah budaya-budaya dan
pemikiran baru yang merupakan hasil dari proses pembauran berbagai macam budaya
dan ideologi mereka yang kian hari kian menggerus nilai-nilai luhur bangsa
Indonesia dari dalam hati dan jiwa bangsa asli Indonesia. Apabila masalah ini
terus dibiarkan, bukan tidak mungkin generasi-generasi muda di masa mendatang
akan kehilangan identitasnya sebagai bangsa yang terkenal ramah dan sopan. Untuk
mencegah semakin buruknya degradasi moral bangsa Indonesia, terutama pemudanya,
maka diperlukan adanya pendidikan moral dan karakter yang berbasiskan
nilai-nilai luhur pancasila.
Pendidikan
karakter mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan perilaku yang membantu
individu untuk hidup dan bekerja sama sebagai keluarga, masyarakat, dan
bernegara dan membantu mereka untuk membuat keputusan yang dapat
dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain pendidikan karakter mengajarkan bangsa
ini, pemuda negeri ini, untuk berpikir cerdas sehingga mampu mengatasi berbagai
macam masalah baru yang ada, meningkatkan kemampuan untuk berbaur dengan bangsa
lain dengan tetap mempertahankan identitas dan budaya bangsanya. Dijadikannya
pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara membawa konsekuensi logis
bahwa nilai-nilai Pancasila harus selalu dijadikan landasan pokok dalam
berpikir dan berbuat, dan hal ini mengaharuskan bangsa Indonesia untuk
merealisasikan nilai-nilai Pancasila itu kedalam sikap dan perilaku nyata baik
dalam perilaku hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pendidikan
karakter berbasis nilai-nilai luhur Pancasila adalah media yang tepat untuk
merealisasikan hal tersebut, dengan tindakan yang tepat maka akan dihasilkan
pula output atau keluaran yang tepat yaitu bangsa Indonesia yang berjiwa
Pancasila. Tanpa adanya realisasi atau perwujudan nyata nilai-nilai luhur
tersebut, maka Pancasila hanya tinggal ucapan-ucapan tanpa makna.
Moral
atau dalam kata lain disebut kesusilaan adalah keseluruhan norma yang mengatur
tingkah laku manusia di masyarakat untuk melaksanakan perbuatan-perbuatan yang
baik dan benar. Jadi pendidikan moral ditujukan untuk memagari manusia dari
melakukan perbuatan yang buruk yang tidak sesuai dengan norma-norma yang ada
baik itu dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam kurun satu dekade
ini, bangsa Indonesia mengalami kemunduran moral yang sangat hebat, ditandai
dengan tingginya angka freesex atau seks bebas di kalangan remaja,
maraknya penggunaan obat-obatan terlarang, seringnya terjadi bentrokan antar
warga, antar pelajar, mahasiswa dengan aparat, dan lainnya yang biasanya
didasari hal-hal sepele, semakin banyaknya kasus korupsi yang terungkap ke
permukaan juga menunjukan degradasi moral tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat
biasa, tetapi juga terjadi pada para pejabat yang seharusnya menjadi pengayom
dan teladan bagi warganya.
Perpaduan
atau kombinasi antara pendidikan moral dan pendidikan karakter yang berbasiskan
nilai-nilai luhur Pancasila akan berdampak sangat positif terhadap
pembentukan karakter dan moral generasi muda bangsa Indonesia. Negara Indonesia
dengan berbagai macam masalah yang mendera di dalamnya ibarat sebuah “piring
yang sudah kotor”, yang apabila piring itu digunakan tanpa dibersihkan terlebih
dahulu maka akan mengotori tangan pengguna berikutnya. Jadi diperlukan adanya treatment
atau perlakuan khusus pada generasi muda sebagai calon penerus
pemerintahan, pemegang tongkat estafet kekuasaan dan pengelola negara agar
mereka tidak turut melakukan hal-hal negatif yang justru akan menimbulkan
derita dan krisis berkepanjangan bagi rakyat Indonesia. Perlakuan khusus
tersebut berupa penanaman dan peingkatan pemahaman mereka terhadap Pancasila
dan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.
Pembinaan
generasi muda sejak dini dengan cara memperkenalkan mereka terhadap ideologi
Pancasila dan pengaplikasiannya secara nyata merupakan hal mendesak yang harus
segera dilaksanakan. Diperlukan andil pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia
dalam proses pelaksanaanya.
Tercatat
pernah terjadi beberapa konflik antar penganut agama yang berbeda di Indonesia,
maupun antar pemeluk agama yang sama tetapi mempunyai sudut pandang dan
pemikiran yang berbeda antar penganutnya dalam menafsirkan ajaran yang
terkandung dalam agama tersebut atau bisa kita sebut “konflik antar penganut
aliran yang berbeda dalam satu agama”. Konflik dengan motif agama yang pernah
terjadi tersebut di antaranya adalah konflik Poso dan konflik antara pemeluk
Ahmadiyah dan Islam. Konflik-konflik tersebut menjadi sejarah kelam bangsa
Indonesia yang seharusnya tidak terjadi apabila nilai luhur pada Pancasila sila
pertama benar-benar dihayati dan diamalkan dengan baik. Dimana saat dalam
perumusannya pun sempat terjadi perbedaan pendapat antar para petinggi di negeri
ini yang beragama islam dan non-muslim. Saat itu mereka yang non-muslim
menuntut agar kalimat yang bermakna kewajiban menjalankan syariat-syariatNya
bagi pemeluk muslim dihapus. Karena toleransi yang tinggi dan pemahaman yang
baik akan perbedaan mereka sepakat untuk menghapus kalimat tersebut.
Nilai
Ketuhanan Yang Maha memberikan kebebasan kepada pemeluk agama sesuai dengan
keyakinanya, tak ada paksaan, dan antar penganut agama yang berbeda harus
saling hormat menghormati dan bekerjasama demi terciptanya kehidupan yang
harmonis dan Indonesia yang sejahtera. Negara ini juga menjamin kemerdekaan
atau kebebasan beragama dalam pasal 29 UUD 1945 ayat (2) yang bunyinya: Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Kata kemerdekaan di atas
mangandung pengertian keterbebasan dari penjajahan; terbebas dari paksaan;
terbebas dari dikte orang lain; bebas untuk melakukan segala hal tetapi masih
dalam norma-norma kewajaran; termasuk kebebasan dalam menganut suatu agama
tertentu yang sesuai dengan hati nurani.
Kesadaran
akan toleransi antar pemeluk agama dan kebebasan memeluk suatu agama inilah
yang harusnya diberikan atau dipahamkan oleh pemerintah terhadap warganya sejak
dini, agar bisa segera diimplementasikan oleh mereka dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Karena belum semua warga paham tentang hal
tersebut, dan bukti nyata adalah konflik-konflik bermotifkan agama di beberapa
daerah di Indonesia. Perbuatan buruk yang terjadi karena kurangnya toleransi
dan rendahnya pemahaman mereka tentang kebebasan beragama.
Pelanggaran-pelanggaran
akan hak asasi manusia sering kali terjadi di Indonesia, di antaranya adalah
dalam kasus Timor-Timur atau sekarang disebut Timor Leste, pembunuhan,
penganiayaan, dan terorisme adalah bukti pengingkaran terhadap nilai luhur
Pancasila sila kedua, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Sila ini mengandung
makna kesadaran sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai moral dalam hidup
bersama atas dasar tuntutan mutlak hati nurani dengan memperlakukan sesuatu hal
sebagaimana mestinya. Apabila nilai-nilai luhur dalam sila ini diamalkan maka
yang timbul adalah sikap saling mencintai sesama manusia, sikap tenggang rasa
dan tepo seliro satu sama lain. Semua orang dengan latar belakang apapun harus
diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa dan harus dijunjung tinggi hak asasi nya.
Perbedaan
yang timbul antar kelompok masyarakat acap kali menimbulkan gesekan-gesekan
yang akhirnya memicu keributan, kerusuhan, konflik atau kontak fisik, dan juga
tawuran, seperti yang terjadi di Poso, Sampit, ataupun kerusuhan yang kerap
terjadi antar kelompok warga di Ibukota Jakarta dan di daerah lainnya. Hal ini
merupakan pengingkaran terhadap nilai-nilai luhur yang terkandung dalam sila
Persatuan Indonesia. Bagaimana mungkin sebuah negara akan menjadi besar apabila
rakyatnya tidak bersatu untuk mewujudkan cita-cita nasionalnya secara bersama.
Apabila konflik-konflik tersebut terus terjadi, agaknya slogan kita pun ikut
berubah menjadi “Bhinneka-itu sudah tidak lagi-Tunggal Ika”. Diperlukan
perbaikan dan upgrade pemahaman tentang pentingnya menghargai perbedaan
yang ada melalui pendidikan moral dan karakter, tidak semua yang sama itu baik,
terkadang perbedaan justru akan seseorang mengerti suatu hal dari sudut pandang
yang berbeda yang akan memperkaya wawasannya akan hal tersebut, dan dengan
perbedaan kita juga bisa saling melengkapi satu sama lain.
Mulai
melunturnya budaya musyawarah untuk mencapai mufakat atas suatu masalah yang
sedang muncul juga menunjukkan tergerusnya nilai-nilai sila keempat Pancasila.
Masyarakat kini cenderung untuk menyelesaikan suatu masalah dengan kekerasan.
Kalaupun antar masyarakat atau pihak yang bersengketa sudah melakukan
musyawarah dan mencapai suatu kesepakatan secara bersama, seringkali
kesepakatan itu dilanggar dan akhirnya berujung dengan adu fisik atau
bentrokan. Rendahnya sikap saling menghargai dan saling menghormati menambah
pelik hal ini. Untuk meminimalisir hal buruk yang mungkin terjadi setelah hasil
musyawarah ini tercapai, hendaknya wakil-wakil pihak yang bersengketa yang
duduk bersama untuk bermusyawarah memiliki karakter yang kuat dan bijaksana,
jujur, mempunyai moral yang baik, agar hasil mufakat mempunyai isi, bobot, dan
gagasan yang kualitasnya baik.
Sila
kelima Pancasila mempunyai makna suatu tata masyarakat yang adil dan makmur
sejahtera lahiriah batiniah, yang setiap warga negara mendapat segala sesuatu
yang telah menjadi haknya sesuai esensi adil dan beradab. Hal ini sangat
berkebalikan dengan kenyataan yang dialami masyarakat Indonesia sekarang dimana
tingkat kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin semakin tinggi;
tingginya angka kemiskinan dan pengangguran; maraknya aksi korupsi di kalangan
pejabat; ada sebagian masyarakat yang tidak mampu untuk membeli beras, hal-hal
ini menunjukkan bahwa rakyat belum sejahtera lahir dan batin. Nilai “keadilan”
dalam sila ini pun dipertanyakan ketika hukum di Indonesia berlaku sangat tegas
untuk para pelaku kriminal tetapi sangat lembek terhadap para koruptor dan
mafia-mafia kelas atas. Padahal, dampak yang ditimbulkan oleh koruptor jauh
lebih luas, lebih merusak, dan lebih berbahaya daripada kejahatan-kejahatan
yang ditimbulkan oleh pelaku kriminal kelas “teri” yang dampaknya sangat kecil.
Semua
hal di atas menunjukkan bahwa lunturnya nilai-nilai luhur Pancasila dari dalam
jiwa bangsa Indonesia menimbulkan dampak negatif yang kian menenggelamkan
bangsa ini dalam masalah-masalah berkepanjangan yang tidak kunjung usai.
Kemiskinan, Ketidak adilan, pelanggaran HAM, korupsi, konflik antar agama,
antar suku, dan lainnya telah memperburuk wajah Indonesia di mata dunia dan
membuat goresan-goresan kelam di sejarah bangsa ini. Padahal bangsa ini
mempunyai Pancasila yang “sakti” yang tidak dapat diubah oleh siapapun, karena
luhurnya nilai-nilai yang ia simpan, karena istimewanya ia, tetapi kini bangsa
ini tidak mengenalnya lagi, tidak mengerti keluhuran dan kesaktiannya.
Bangsa
Indonesia harus benar-benar menjadikan Pancasila sebagai pandangan hidupnya,
agar Pancasila ini tidak hanya menjadi sekedar nama tanpa rupa. Pancasila
adalah hasil karya, ide, dan pemikiran para pejuang kemerdekaan, oleh karena
itu marilah kita gali dan amalkan apa yang telah mengantar kita menjadi dasar
negara kita, apa yang dihasilkan oleh para pahlawan kita, karena bangsa yang
besar adalah bangsa yang mau mengamalkan apa yang menjadi ide para pahlawannya,
bangsa yang mau mewujudkan apa yang menjadi cita-cita nasionalnya dan cita-cita
para pendahulunya.
Dari
diagram di atas dapat dijelaskan bahwa Pancasila dengan nilai-nilai luhur yang
terkandung di dalamnya menjadi basis atau bahan utama dari pendidikan moral dan
pendidikan karakter yang merupakan alat untuk membentuk keperibadian luhur,
karakter, dan moral bangsa Indonesia. Dua jenis metode pendidikan tersebut akan
saling bekerja sama, melebur menjadi satu, karena pada dasarnya keduanya
dirancang untuk menanamkan nilai-nilai luhur Pancasila kepada generasi muda.
Pendidikan moral dan karakter selanjutnya harus diintregasikan atau dimasukkan
ke dalam Sistem Pendidikan Nasional karena akan lebih mudah untuk diawasi
kualitasnya oleh Pemerintah. Selanjutnya harus dibuat satu mata pelajaran
khusus yang materinya adalah tentang bagaimana meningkatakan pemahaman siswa
terhadap Pancasila dan makna atau nilai-nilai yang terkandung di dalamnya untuk
kemudian dilatih bagaimana cara pengaplikasiaannya di kehidupan nyata; ini
merupakan kegiatan praktek yang harus dilakukan siswa atau peserta didik.
Kegiatannya pun bisa dimodifikasi sedemikian rupa oleh guru atau pendidik
contohnya kerja bakti bersama masyarakat desa, games atau permainan unik
sehingga peserta didik dapat mengerti pesan-pesan moral apa yang didapat dari
kegiatan tersebut.
Mata
pelajaran ini harus sudah ada mulai sejak SD hingga perguruan tinggi karena ini
akan sangat membantu dalam pembentukan moral dan karakter generasi muda. Ini
akan lebih efektif daripada seminar-seminar atau outbond bertemakan
pembentukan karakter yang biasanya berlangsung hanya beberapa jam saja. Padahal
untuk mencapai suatu hasil yang maksimal diperlukan usaha yang maksimal pula,
tidak bisa didapatkan dengan cara-cara instant atau praktis seperti
tersebut.
Diperlukan
guru atau pendidik yang profesional untuk bisa membentuk moral dan karakter
peserta didiknya. Karena ia tidak hanya mengajarkan nilai-nilai luhur Pancasila
dengan teori saja, tetapi memberikan contoh nyata dari apa yang telah ia
katakannya. Guru atau pendidik yang benar-benar menghayati dan mengamalkan
nilai-nilai luhur Pancasila tidak hanya bertugas untuk membentuk moral dan
karakter siswanya; ia juga mempunyai tanggung jawab dan mempunyai pengaruh
positif di lingkungan tempat ia tinggal.
Masalah
yang membelit bangsa dan negara ini sangatlah kompleks, setiap hari juga akan
muncul maslah-masalah yang baru yang menuntut untuk diselesaikan dengan cara,
gagasan, dan metode yang baru. Untuk itu diperlukan generasi-generasi muda yang
cerdas, tangguh, bermoral baik dan memiliki karakter yang tegas dan bijaksana
untuk dapat menyelesaikannya dengan cara-cara yang kreatif dan inofatif.
Pendidikan moral dan karakter adalah jawaban yang tepat untuk membentuk
generasi-generasi muda dengan karakter seperti tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar